WANGSALAN KATA SINDIRAN DALAM BAHASA JAWA

WANGSALAN KATA SINDIRAN DALAM BAHASA JAWA

Penelitian tentang “Pendidikan Keluarga Dalam Naskah Keagamaan Karya Mangkunegara IV” yang dilakukan tim peneliti Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Balai Litbang Agama Semarang telah berhasil mengumpulkan beberapa naskah yang diperlukan. Pengumpulan naskah tersebut dilakukan pada tanggal 15 – 25 Oktober 2020 pada beberapa lokasi di kota Solo, yaitu Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran, Perpustakaan Masjid Agung Surakarta, Museum Radya Pustaka, dan Yayasan Sastra Lestari Surakarta.

Sastra Jawa terbagi dalam empat masa, yaitu sastra Jawa kuno, sastra Jawa tengahan, sastra Jawa baru, dan sastra Jawa modern. Naskah karya Mangkunegara IV menggunakan sastra Jawa baru dan ditulis dengan aksara Jawa. Untuk dapat memahami isi dari naskah tersebut diperlukan transliterasi aksara dan bahasa ke dalam bahasa Indonesia. Namun hal itu ternyata tidak cukup, karena sastra Jawa cukup sulit dipahami. OIeh karena itu tim peneliti Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi disela-sela pengumpulan data mengadakan forum group discussion (FGD) pada tanggal 20 – 23 Oktober 2020 bertempat di Megaland Hotel Surakarta yang diikuti oleh perwakilan 5 lokus penelitian, ditambah dari Kantor Kementerian Agama Kota Surakarta.

Hasil dari FGD tersebut diantaranya mengungkap bahwa bentuk-bentuk sastra jawa ternyata cukup banyak, satu diantaranya adalah wangsalan. Fenomena dalam wangsalan menunjukkan ciri masyarakat Jawa tradisional yang tidak mau menegur ataupun memarahi orang secara langsung, terbuka, atau berterus terang. Apalagi jika hal tersebut dapat membuat orang tersinggung atau marah yang dapat menimbulkan pertengkaran.

Wangsalan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu dari pembentukan, cara pemakaian, dan situasi pemakaian. Wangsalan dilihat dari pemakaiannya terbagi menjadi 2 yaitu wangsalah lamba dan wangsalan memet. Wangsalan lamba dalam proses pemaknaannya dilakukan satu kali contohnya kata “wong kok menthil kacang”. Kata menthil kacang dalam bahasa jawa berarti sungut, sehingga kata tersebut dimaksudkan mbesengut atau dalam bahasa Indonesia berarti cemberut. Wangsalan memet yang memerlukan tahapan dalam pemaknaannya, sebagai contoh dalam kata “uler kambang” harus dipahami sebagai “lintah” yang mirip dengan kata “sak titahe”, kata inilah yang memiliki makna tidak memaksakan diri.

Berikut adalah contoh wangsalan dan artinya:

1. Takonmu kok ngrokok cendhak. (Ngrokok cendak = tegesan, neges-neges)

2. Nganti nyaron bumbung leh ku ngenteni. (nyaron bumbung = angklung, cengklungen)

3. Ayu-ayu kok jangan gori. (jangan gori = gudeg, budeg)

4. Ojo seneng mbalung pakel. (balung pakel = pelok, alok-alok)

5. Nggodong garing, esuk-esuk wis nglaras (godong garing = klaras, nglaras)

6. Kembang jambu, kemaruk duwe montor anyar (kembang jambu = karuk, kemaruk)