Sri Tanjung, Kiai Saleh, dan Kopi dari Banyuwangi
  • 16 Maret 2021
  • 920x Dilihat
  • berita

Sri Tanjung, Kiai Saleh, dan Kopi dari Banyuwangi

Sri Tanjung adalah salah satu nama tokoh populer di Banyuwangi. Meskipun tragis, kisahnya menjadi asal-usul penamaan daerah ini, yang juga dikenal dengan nama Blambangan. Darah beraroma wangi yang keluar dari tubuh Sri Tanjung adalah bukti kesetiaannya terhadap Sidapaksa, suaminya, meskipun telah menuduh berbuat serong. Dari darah yang wangi itulah, Sidapaksa menangis, menyesali perbuatan bodohnya sambil berkata: banyu…wangi…

Karena menjadi ikon tokoh Banyuwangi, Sri Tanjung menjadi nama sebuah taman di alun-alun Kota Banyuwangi: “Taman Sri Tanjung.” Selain itu, Sri Tanjung pun menjadi nama sebuah Kereta Api yang membawa tim peneliti Balai Litbang Agama Semarang (Tim BLAS), menelusuri Yogyakarta  hingga Banyuwangi.  

Kisah Sri Tanjung ini dipopulerkan oleh sebuah teks wiracarita dalam sejumlah naskah dan relief-relief di beberapa candi-candi di Jawa Timur. Cerita Sri Tanjung sendiri di Banyuwangi mewujud dalam naskah beraksara pegon. Peneliti naskah Sri Tanjung di Banyuwangi, Wiwin Indiarti, mengatakan bahwa, di kalangan masyarakat Banyuwangi, naskah Sri Tanjung lebih dikenal dengan “Lontar Sri Tanjung,” penyebutan yang sama dengan “Lontar Yusuf” untuk menyebut naskah-naskah yang berisi teks cerita Nabi Yusuf.

Ayung Notonegoro, yang bernama asli Bahrur Rohim, pegiat Komunitas Pegon Banyuwangi, berpendapat bahwa cerita Sri Tanjung di Banyuwangi tampak pengaruh Islamnya di banding cerita Sri Tanjung di tempat lain, misalnya Bali. Hal ini menunjukkan adanya upaya “Islamisasi” teks di kalangan masyarakat Banyuwangi yang meresepsi cerita Sri Tanjung. Oleh karena itu, kendatipun sebagai teks sastra, cerita Sri Tanjung merefleksikan sebuah dinamika pemikiran dan praktik keagamaan di masyarakat Banyuwangi dari dahulu hingga sekarang. Teks sastra mencerminkan pergolakan pemikiran keagamaan.

Senada dengan hal itu, naskah-naskah yang lebih bernuansa agamis juga mencerminkan “jiwa zamannya,” yakni zaman di mana dakwah Islam lebih masif di kalangan “wong Blambangan.”  Demikian yang Tim BLAS temukan dari sejumlah naskah kuno di Masjid Kiai Saleh Lateng, Dusun Krajan, Kelurahan Lateng, Kota Banyuwangi.

Kiai Saleh Lateng adalah seorang tokoh ulama terkenal di Banyuwangi yang hidup semasa dengan Hadiratusyaikh Hasyim Asy’ari. Dia lahir di Kampung Mandar Banyuwangi pada tahun 1862. Nama aslinya adalah Ki Agus (KGS) Muhammad Saleh yang berdarah Kesultanan Palembang Darussalam. Guru-gurunya di Mekkah merentang dari ulama asli Nusantara hingga Timur Tengah. Di antara nama-nama guruya yang terkenal adalah Syaikh Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudh Termas, Syaikh Umar Sumbawa, selain juga Syaikh Kholil Bangkalan Madura.

Kami menemukan sejumlah koleksi naskah tulisan tangan di dua lemari buku/kitab yang tersimpan di dalam masjid. Satu demi satu kami sisir, identifikasi, lalu didigitalisasi. Akhirnya kami menemukan sepuluh naskah tulisan tangan. Temanya bermacam-macam mulai dari ilmu bahasa, ilmu tauhid, hingga fikih. Hal ini menandakan kebangkitan ilmu-ilmu pesantren yang lebih intens pada abad ke-19 di Jawa.

Selain naskah-naskah koleksi Masjid Kiai Saleh kami juga menemukan sejumlah karya tulisan tangan murid Kiai Saleh, yang bernama Kiai Suhaimi Rafi’uddin. Kiai Suhaimi juga menulis sebuah biografi gurunya, Kiai Saleh, yang selesai apda tahun 1977. Kiai Suhaimi sendiri tergolong kiai yang produktif menulis di antara ulama di Banyuwangi.

“Naskah-naskah pesantrenan” juga kami identifikasi, yakni terutama naskah-naskah yang tersimpan di Komunitas Pegon Banyuwangi, sebuah komunitas yang memfokuskan diri pada kajian-kajian tentang khazanah kepesantrenan di Banyuwangi. Naskah-naskah tersebut adalah adalah hasil ekspedisi yang berhasil dikumpulkan oleh Komunitas Pegon. Sekali lagi, naskah-naskah kepesantrenan ini mencerminkan semakin masifnya “ilmu-ilmu pesantren” di ujung timur pulau Jawa ini, yang menandakan pula suatu orientasi pemikiran keagamaan di suatu masa.

Penelusuran itu ternyata membuka pengetahuan bahwa Banyuwangi tidak hanya terkenal dengan cerita mistis perihal santet dan sihir, tetapi juga memiliki segudang dinamika intelektual Islam. Dinamika intelektual tersebut terekam dalam sejumlah naskah kuno yang masih tersimpan hingga sekarang, dan masih perlu dilestarikan. Justru disitulah letak identitas yang beragam dari Banyuwangi; tidak hanya terkenal dengan santet, dan Gunung Ijen, tetapi juga dengan karya-karya tulis ulamanya, dan racikan kopinya sudah barang tentu. Tabik