Primbon Bukan Klenik Tapi Mengandung Laku Spiritual Sufisme Jawa
  • 6 Mei 2021
  • 1188x Dilihat
  • berita

Primbon Bukan Klenik Tapi Mengandung Laku Spiritual Sufisme Jawa

TRIBUNJATENG.COM - Primbon atau kitab warisan leluhur Jawa yang di dalamnya mengandung pitutur atau ajaran untuk hidup selaras dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan, banyak disalahsartikan menjadi identik dengan klenik.

Dari sekian banyak primbon Jawa, ternyata ada juga primbon yang berisi tentang pengetahuan hingga ajaran tasawuf salahsatunya tentang laku spiritual.

Belum lama ini, yakni Rabu (5/5/2021) kemarin, dibedah buku berjudul ‘Laku Spiritual Sufisme Jawa’ karya Samidi Khalim yang juga Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama Semarang, kementerian Agama (Kemenag).

“Melalui buku ini, saya ingin mencoba menghilangkan mitos atau kesalahpahaman mengenai primbon yang identik dengan klenik atau perdukunan,” ungkap Samidi.

Dalam buku itu, dijelaskan mengenai laku spiritual kaum Islam kejawen atau sufisme Jawa bahwa jika dikaji secara mendalam hampir sama dengan laku spiritual yang ada di dalam ajaran tasawuf.

Seperti Mujahadah, Riyadloh, Uzlah, yang tujuannya untuk mengendalikan hawa nafsu agar manusia bisa berbudi pekerti luhur.

Semisal dalam sufisme Jawa terdapat dalam kitab primbon mengenai laku Salat Daim.

“Artinya, kita senantiasa dzikir dan ingat Allah SWT dengan cara berdzikir Hu Allah terus menerus. Salat yang tak mengenal waktu dan tempat, senantiasa terkoneksi dengan Allah agar berbudi pekerti luhur baik pada sesama manusia, alam, dan Tuhannya,” ungkapnya.

Kemudian terdapat laku puasa. Di kalangan orang Islam Jawa, puasa yang dilakukan tidak seperti pada umumnya melainkan lebih berat.

Semisal puasa Mutih, yaitu tatacaranya seperti puasa pada umumnya tapi makannya hanya nasi putih dan hanya minum air putih selama beberapa hari.

Puasan Ngebleng, yaitu dari sejak terbitnya matahari hingga terbit lagi atau 24 jam tidak boleh makan, tidak boleh minum, dan tidak boleh tidur.

Ada lagi Puasa Pati Geni, yaitu di dalam ruangan tidak boleh ada cahaya sama sekali.

“Dari puasa itu tujuannya merupakan mujahadah sekaligus riyadloh, ini untuk pengendalian nafsu, mengasah hati. Tirakat puasa bagi Islam kejawen juga untuk memeroleh doyo linuwih atau kesaktian,” kata Samidi.

Sehingga, lanjut Samidi, lelaku tersebut tujuannya adalah agar dalam tiap pikiran, perbuatan dan tindak tanduk selalu ingat pada yang Maha Kuasa.

Adapun, Sufisme Jawa ini muncul sejak era Kasultanan Demak yakni perpaduan antara Jawa yang berkarakter mistis dengan Fiqih Islam. Selanjutnya, makin meluas di era Mataram Islam.

Samidi menilai, adat budaya Jawa yang luhur itu masih relevan dalam konteks kekinian. Terutama dalam konteks pengendalian diri dan pengendalian krakter.

Mantan Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Prof Dr Mahmutarom yang hadir dalam bedah buku tersebut mengungkapkan, adanya sufisme Jawa itu sebagai bukti kebijaksanaan para Wali zaman dahulu.

Yaitu tidak menghilangkan ritual lama, sedangkan yang kurang baik dihilangkan, sementara yang baik ditata sedemikian rupa agar tidak melanggar syariah agama. Sehingga tidak menyinggung orang lain.

“Biasanya tiap doa-doa diawali basmalah serta diselipkan kalimah tauhid serta dimasukan bahasa Jawa,” katanya. Mahmutarom menambahkan, dalam karakter orang Jawa juga terkandung pesan rasa hormat menghormati. Semisal dalam bahasa Jawa Krama Inggil, mengandung filosofi karakter masyarakat Jawa yang mengedepankan rasa.

“Persoalannya, kita sekarang sudah lupa dengan jatidiri bangsa kita, lupa akan karakter bangsa, sehingga lupa dalam bersikap dan berhubungan dengan sesama,” ujarnya.

Guru Besar Universitas Yogyakarta (UNS) Suwardi Endraswara, menambahkan, yang menjadi persoalan di era saat ini yakni milenial kurang begitu memahami filosofi laku Jawa hingga cenderung mendiskreditkan.

“Kalau mereka tahu filosofinya, pasti tidak akan mendiskreditkan budaya Jawa. Ini tugas semua pihak untuk memberikan pemahaman ke anak-anak muda,” tuturnya. (*)