Perubahan Orientasi Gerakan Salafi
  • 15 Februari 2016
  • 312x Dilihat
  • berita

Perubahan Orientasi Gerakan Salafi

Semarang (15 Februari 2016). Iklim politik yang terbuka dan pertumbuhan ekonomi yang membaik menyebabkan berbagai gerakan islamisme di Indonesia mengubah orientasinya. Dulu gerakan kaum Islamis lebih menekankan aksi-aksi radikalistis. Sementara sekarang ini cenderung menjadi gerakan sosial yang lebih prosedural.

Hal itu dikemukaan oleh Anas Aijudin, M.Hum. dalam diskusi persiapan penelitian “Radikalisme Kelompok-kelompok Keagamaan dalam Konstelasi Kebangsaan di Jateng, Jatim, dan DIY”di Balai Litbang Agama Semarang, Senin 15 Februari 2016. Diskusi diikuti oleh para peneliti dari 3 bidang penelitian, yakni bidang pendidikan keagamaan, kehidupan keagamaan, dan lektur khazanah kegamaan yang sedang melakukan penelitian kolaboratif tentang gerakan keagamaan radikal.

Anas selaku peneliti pada Pusat Studi Agama dan Perdamaian (PSAP) Surakarta menyoroti fenomena gerakan Islamisme kaum salafi di Solo. Kelompok-kelompok keagamaan atau laskar di Solo menunjukkan perubahan orientasi menuju gerakan yang lebih prosedural dan bersahabat dengan aparat hukum.

“Misal Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) yang menerapkan prosedur tetap dalam aksi sweeping-nya,” kata Anas. Dalam sweepingnya, LUIS mengawali dengan pengamatan tempat-tempat maksiat. Temuan mereka lalu dilaporkan kepada polisi sekaligus memberikan deadline untuk bertindak. Kalau polisi tidak bertindak pada batas waktu yang ditentukan, maka laskar yang akan bertindak.

Lebih dari itu, gerakan kaum salafi di Solo berupaya melakukan transvaluasi nilai-nilai Islam di level individu dan komunitas-komunitas yang dinamis. Mereka menempuh metode gerakan melalui pendirian pesantren-pesantren salafi yang menggunakan kurikulum pemerintah kemudian dipadukan dengan kekhasan mereka sebagai lembaga Islam. Jaringan pondok pesantren salafi di Solo setidaknya bisa dilihat pada PP Imam Bukhari, PP Al-Ukhuwah, PP Ibnu Abu Bakar Baasyir Sragen.

“Mereka juga mengembangkan pendidikan formal mulai TK s.d. SMA dalam rangka mempersiapkan kader. Selain itu juga mengembangkan gerakah filantropi dengan kemunculan lembaga atau badan-badan zakat, infaq, dan sedekah,” ungkap Anas.

Banyak faktor yang mendorong perubahan orientasi gerakan Islamisme tersebut. Di antaranya adalah keberhasilan konsolidasi demokrasi dan struktur politik yang semakin terbuka di mana negara melibatkan kalangan Islamis dalam perumusan kebijakan ataupun pembangunan.

“Upaya kalangan radikal untuk mengubah tatanan sosial politik melalui pengembangan ideologi totaliter dan bernuansa kekerasan, secara perlahan bergeser pada pola gerakan politik yang mengarah pada kesantunan dan layanan kemanusiaan,” pungkas Anas.