Pendidikan Karakter Menepati Janji pada Sekolah Perjumpaan
  • 20 Desember 2019
  • 393x Dilihat
  • berita

Pendidikan Karakter Menepati Janji pada Sekolah Perjumpaan

Fenomena mudahnya mengingkari janji dan melanggar aturan atau komitmen dirasa
memprihatinkan. Sekolah Perjumpaan berikhtiar memperkuat karakter anak didik
yang bertitik tolak dari menepati janji.

Mungkin publik belum banyak mengetahui tentang Sekolah Perjumpaan. Sekolah
ini berada di Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan sekolah formal, Sekolah
Perjumpaan dirancang untuk mengurai problem-problem sosial di masyarakat yang
semakin hari semakin kompleks dan tidak terkendali tidak terkecuali di dunia
pendidikan. Kurikulum bersifat bottom up, sesuai kebutuhan peserta
pembelajaran.

Ahmad Muntakhib dan Wahab selaku peneliti Bidang Pendidikan Agama dan
Keagamaan melakukan penelitian dengan topik “Pendidikan Karakter Menepati
Janji Pada Sekolah Perjumpaan di NTB”. Hasil penelitian itulah yang
dipaparkan oleh Muntakhib pada Seminar Isu-isu Aktual Pendidikan Agama dan
Keagamaan Nonformal di Hotel Pandanaran, Jumat (20/12/2019). Seminar yang
digelar oleh Balai Litbang Agama Semarang tersebut melibatkan sejumlah guru
madrasah, pengawas, dan ormas keagamaan.

Muntakhib mengatakan bahwa kemunculan Sekolah Perjumpaan merupakan kritik
bagi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah yang cenderung hanya di atas
kertas. Pendidikan karakter di sekolah justru tersingkir dengan adanya
penyimpangan orientasi pendidikan dan belum menjadikan peserta pembelajaran
sebagai subyek.

“Pendidikan karakter lebih penting dari pada pengembangan kognitif,” kata
Muntakhib.

Dijelaskan, setidaknya ada 3 tahap pembelajaran pada Sekolah Perjumpaan.
Pertama, komitmen berjumpa. Yaitu hari Jumat setelah magrib. Kedua, kegiatan
membaca buku 2 halaman setiap hari. Ketiga, refleksi. Yaitu refleksi atas
upaya menepati janji dan menceritakan isi buku yang dibaca.

“Pendidikan karakter pada sekolah perjumpaan hanya membutuhkan kesadaran dari
peserta pembelajaran,” tambah Muntakhib.

Dr. Iwan Junaidi selaku narasumber mengatakan bahwa wacana pendidikan yang
dipaparkan di dalam penelitian sah-sah saja. Tetapi wacana yang melibatkan
pendidikan nonformal ini tidak bisa kemudian dibenturkan dengan proses
pendidikan yang berlangsung pada pendidikan formal. Karena perbandingan
tersebut tidak apple to apple.

“Jangan sampai guru yang kerja di sekolah membentuk karakter peserta didik
itu dianggap tidak melakukan apa-apa,” kata Iwan.

Iwan menambahkan, dalam penelitian ini peneliti tidak perlu membahas
kekurangan pendidikan formal. Namun peneliti bisa fokus pada topik bagaimana
model pendidikan karakter pada sekolah perjumpaan.

Kepala Balai Litbang Agama Semarang Dr. Samidi, S.Ag., M.S.I. mengatakan
bahwa penelitian ini merupakan upaya kita merespon dinamika pendidikan nonformal yang sedang berkembang di masyarakat. Keberadaan Sekolah Perjumpaan di NTB merupakan alternatif pendidikan karakter. (syafa’)