Moderasi di Kalangan Generasi Milenial

Moderasi di Kalangan Generasi Milenial

Keberagamaan generasi milenial terbentuk bersamaan dengan pencanggihan teknologi informasi yang mengubah interaksi sosial. Wataknya yang cepat, instan, dan mudah sharing justru kontraprodukif terhadap pengamalam Islam secara moderat. Diperlukan perlu pendekatan baru dalam menyampaikan agama kepada generasi milenial.

Persoalan moderatisme di kalangan milenial itu dibahas di dalam “Rapat Pembahasan Draf Final Penyusunan Modul Pendididkan Keluarga Berwawasan Moderat” yang dilaksanakan oleh Balai Litbang Agama Semarang di Hotel Harper Yogyakarta (22/03). Kegiatan tersebut diikuti oleh para penyuluh, guru agama, dan perwakilan ormas. Sejumlah narasumber hadir seperti Prof. Koeswinarno, M,Hum., Dr. Fakhruddin Faiz, Hairus Salim HS, dan Isnan Hidayat.

Koeswinarno mengungkap gap antara pemegang otoritas keagamaan dengan generasi yang sedang menjalankan agama. Ajaran agama sudah tidak relevan disampaikan secara konvensional di hadapan generasi milenial.

“Generasi milenial agalah generasi yang kritis terhadap fenomena sosial,” katanya. Ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan pemahamannya mudah dikritisi. Di waktu yang sama mereka menyerap agama secara instan.

Sementara itu Hairus Salim melihat generasi milenial sekarang ini hidup di dalam ekosistem digital. Otoritas tunggal sudah luruh, serta batas-batas penguasaan sumber daya telah kabur. Tidak ada lagi istilah “monopoli” dalam memahami ajaran agama.

“Anak-anak zaman sekarang adalah digital native. Kalangan muda yang begitu menguasai teknologi justru yang dominan termakan hoaks. Jadi di sini masalahnya bukan di level instrument teknologi itu, tetapi masalah di dalam kepala,” kata Salim.

Hoaks, seperti juga pemahaman keagamaan yang intoleran adalah buah dari sistem pendidikan yang dogmatis dan antikritik. Paradigma sekolah itu terlalu eksak. Anak-anak pintar selalu diklasifikasi untuk mengambil jurusan Sains IPA/Eksak. Sementara anak-anak yang mengambil jurusan ilmu sosial dipandang underestimate. Paradigma eksak ini nantinya berpengaruh pada pemahaman keagamaan yang berciri eksak: benar-salah, hitam-putih, dsb. (syafa’)