Moderasi Agama Berbasis Budaya Jawa
  • 17 Desember 2019
  • 1498x Dilihat
  • berita

Moderasi Agama Berbasis Budaya Jawa

Budaya menjadi basis moderasi agama di masyarakat Jawa. Kearifan lokal yang merupakan bagian kekayaan budaya menjadi landasan perilaku atau praktik beragama secara moderat di masyarakat Jawa.

Hal itu disampaikan oleh Joko Tri Haryanto selaku peneliti Balai Litbang Agama Semarang pada kegiatan Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan di Hotel Pandanaran Semarang, Selasa (17/12/2019). Joko memaparkan hasil penelitian berjudul “Moderasi Beragama dalam Khazanah Budaya Jawa” yang merupakan studi kasus di Desa Trirenggono, Bantul, D.I.Y.

Kehidupan masyarakat Desa Tritenggono mengabstraksikan praktik moderasi beragama berbasis budaya Jawa. Meskipun mayoritas muslim, masyarakat Trirenggono juga memeluk agama Kristen, Katolik, dan Hindu.

Joko mengungkapkan, nuansa budaya sebagai basis moderasi agama tampak dalam kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan warga lintas agama. Yaitu upacara siklus hidup dan kematian, kenduren, tradisi merti dusun, ronda, dan nyadran.

Selain itu juga kolaborasi antarwarga dalam kegiatan keagamaan. Contoh menarik adalah kepanitiaan bersama dalam pelaksanaan kurban pada Idul Adha, Halal Bihalal pada Idul Fitri, dan Natalan.

“Pada hari raya kurban, panitia tidak hanya umat muslim saja, tetapi juga umat nonmuslim. Bahkan nonmuslim menginisiasi iuran untuk membeli kambing, yang kemudian digunakan untuk makan bersama panitia kurban,” kata Joko.

Penelitian tersebut menegaskan bahwa budaya dan agama bisa berjalan beriringan. Nilai budaya tidak bertentangan dengan agama. Moderasi yang berbasis pada budaya Jawa merupakan abstraksi praktik beragama dengan harmoni dan seimbang.

Moderasi dalam Masyarakat Hindu

Masih terkait dengan tema yang sama, Zakiyah memaparkan penelitian “Moderasi Beragama pada Masyarakat Hindu di Yogyakarta”. Zakiyah menemukan sejumlah konsep ajaran Hindu yang menjadi landasan moderasi agama. Yakni tat twam asitri hita karanapanca yadnya, panca sadra, karmapala, dan darma. Ayat-ayat di Bhagavad Gita juga mengajarkan tolong-menolong, berbagi kepada sesama, saling menghormati dan menghargai perbedaan.

“Tradisi toleransi dan moderasi agama dio masyarakat Hindu tampak pada kenduren, merti desa, gotong-royong membantu membangun tempat ibadah, dan ujung-ujung  ketika hari raya,” kata Zakiyah.

Drs. Anasom, M.Hum. yang didapuk sebagai narasumber melihat lokasi kedua penelitian tersebut termasuk kategori negarigung. Karakter negarigung, meskipupn karakter komunitas masyarakatnya plural dari sisi agama, tapi ada sisi-sisi budaya yang menyatukan masyarakat.

Negarigung memiliki karakter budaya yang halus. Kamajaya menyebut orang di wilayah jawa memiliki sifat akomodatif. Sifat ini adalah modal. Orang jawa menerima agama apa saja, tidak akan lepas dari pola watak akomodatif masyarakat Jawa,” kata Anasom.

Meski akomodatif, masyarakat Jawa memiliki sisi selektif. Terjadi interelasi atau hubungan saling  mempengaruhi antara gama dan budaya di Jawa. Hampir semua agama yang masuk di jawa bisa berpaduan. Di Jawa bisa terjadi Jawanisasi Islam dan sekaligus Islamisasi Jawa. Itu juga terjadi pada agama lainnya di Jawa.

Karena itu, tambah Anasom, di dalam kultur masyarakat majemuk ini seorang pemimpin jangan hanya hanya memikirkan pembangunan fisik. Sebagus apapun fisiknya, tetapi kalau terjadi konflik maka rusak dalam waktu singkat. Sebaliknya, diperlukan pembangunan manusia yang lebih sensitif terhadap multikulturalitas. (syafa’)