Merajut Kerukunan dengan Filantropi
  • 26 Agustus 2016
  • 223x Dilihat
  • berita

Merajut Kerukunan dengan Filantropi

(Batu, 26 Agustus 2016) Lembaga pengelola dana sosial umat atau filantropi semakin banyak. Selain lembaga keagamaan, lembaga-lembaga filantropi modern yang dikelola secara profesional pun bermunculan. Akan tetapi, pemanfaatan dan penyaluran dana amal itu belum bisa sepenuhnya menjangkau semua kalangan masyarakat yang membutuhkan. Derma sosial yang dikelola oleh lembaga keagamaan masih menyasar pada umat seagama.

Fenomena itu mendorong para peneliti Bidang Kehidupan merumuskan draft buku “Pengelolaan Filantropi oleh Lembaga Agama Berbasis Kerukunan Umat Beragama”. Draf buku tersebut diujikan dalam workshop di Kota Batu, Jawa Timur, pada 23 s.d. 26 Agustus. Uji draft final pengembangan pemikiran pengelolaan filantropi agama diikuti oleh perwakilan lembaga/majelis agama-agama, FKUB, Kementerian Agama, BAZNAS Kab./Kota, dan akademisi se-Malang Raya.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Dr. Muharam Marzuki, Ph.D. memberikan apresiasi positif terhadap penyelenggaraan kegiatan ini. Menurut Muharam, aksi-aksi filantropi oleh lembaga agama bisa meningkatkan kerukunan antarumat beragama. Sebaliknya, juga bisa menjadi sumber konflik kalau tidak dilandasi dengan pengelolaan yang baik.

“Filantropi bisa berujung pada konflik ketika ada tujuan lain, misalnya amal bersyarat untuk memaksa kelompok-kelompok tertentu untuk mengikuti keyakinan tertentu,” kata Muharam.

Muharam menegaskan, filantropi tidak memiliki kepentingan lain selain kasih sayang terhadap sesama manusia. Lembaga sosial kegamaan dan rumah ibadat perlu memaksimalkan filantropi untuk kesejahteraan umat lintas agama tanpa adanya kepentingan membujuk rayu seseorang untuk mengubah keyakinan agamanya.

Kepala Balai Litbang Agama Semarang Prof. Koeswinarno, M.Hum. menjelaskan bahwa kegiatan tersebut adalah salah satu upaya merajut gagasan bagaimana mengelola filantropi agama untuk kesejahteraan sekaligus merukunkan umat beragama.

“Tantangan institusionalisasi filantropi secara teologis adalah adanya penafsiran yang berbeda terhadap dogma-dogma agama,” kata Koeswinarno. Selain itu, trust masyarakat terhadap sesuatu yang institusional, apalagi dikelola oleh pemerintah, kini semakin melemah.

Namun, tambah Koeswinarno, tantangan itu menjadi ringan ketika mayarakat memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh agama. Dengan dukungan manajemen yang baik serta keterlibatan tokoh agama yang komunikatif maka akses masyarakat terhadap lembaga filantropi akan semakin mudah.