Membaca Sampar, Merenungkan Corona (Bagian 2)

Membaca Sampar, Merenungkan Corona (Bagian 2)

Wabah adalah “Pembunuhan” yang Tak Manusiawi

Kemunculan Tarrou membuat Dokter Rieux merasa tak sendiri. Tarrou adalah sorang pendatang di Oran. Sementara Rieux adalah seorang humanis, Tarrou lebih kentara sebagai seorang absurdis. Pelancong yang sebenarnya pemikir ini adalah seorang yang detail mencatat peristiwa. Ia juga tampak sebagai intelektual.

Tarrou menggalang relawan untuk penanggulangan sampar. Ia mengkoordinasi para relawan untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani pasien di masa epidemi. Bagi Tarrou, tindakan kerelawanan itu adalah tindakan yang wajar. Tidak ada pilihan lain selain melakukan itu, bukan karena dorongan moral. Bagi seorang absurdis, tiada suatu tindakan bernilai baik atau buruk. Maknanya sesederhana apakah ia berguna atau tidak untuk menampik kesia-siaan.

Latar belakang Tarrou adalah anak seorang jaksa. Ia tumbuh menghormati ayahnya yang berprofesi sebagai seorang penuntut dalam proses pengadilan. Pada suatu hari ia berkesempatan menonton persidangan sang ayah. Oleh sebuah alasan tindakan hukum, sang ayah menuntut seorang terdakwa dengan hukuman mati. Dan tuntutan itu dikabulkan oleh hakim. Di situlah Tarrou muda bergejolak. Pikirannya memberontak, ia tak bisa membenarkan adanya pembunuhan terhadap seseorang apapun alasannya, bahkan jika itu dilakukan oleh lembaga hukum yang bertugas menegakkan keadilan. Bahwasanya hukuman mati adalah ketidakadilan dalam bentuk yang lain. Pikiran ini menjadi kekelaman sekaligus energi di dalam diri Tarrou. Tersebab suatu alasan lain mengenai ayahnya yang serong dengan wanita lain, Tarrou muda pergi dari rumah. Ia berkelana dengan kemuraman isi kepalanya. Dan ia terjun di komunitas-komunitas yang menentang hukuman mati. Pemikiran ini kelak menjadi landasan keseluruhan pandangan Tarrou dalam melihat kehidupan.

Termasuk dalam perlawanannya terhadap wabah sampar, Tarrou tergerak untuk mencegah “pembunuhan”. Meski wabah tampak bekerja secara alamiah, namun kematian massal, panen penderitaan, kondisi sosial penuh kecemasan dan ketidakpastian, serta menghilangnya sukacita dalam kehidupan adalah kondisi yang tidak manusiawi. Sampar adalah ketidakwajaran, kesia-siaan. Absurditas itu mesti diberontak.

“Ini bukan yang paling sukar... Sampar ada di sini, kita harus mempertahankan diri. Sederhana sekali...” kata Tarrou. Bagi Tarrou tindakannya bersama para relawan, juga orang-orang yang berjuang melawan sampar bukanlah tindakan kepahlawanan. Kesediaan berjuang melawan sampar adalah perbuatan wajar yang semestinya dilakukan. Pendeknya, perbuatan baik bukanlah hal istimewa yang perlu dipuja-puja, ia adalah tindakan wajar yang seharusnya memang ada. Kebaikan bukanlah kelangkaan yang harus dihargai atau dipuji tinggi-tinggi.

Selain dua tokoh utama itu, ada tokoh-tokoh satu barisan seperti Grand, Rambert, dan Castel. Grand adalah pegawai rendahan di Balai Kota, ia masuk ke barisan relawan dengan konsen utama pencatatan. Berapa pasien baru, pasien mati, pasien sembuh, semua data dan grafik itu di tangan Grand.

Sementara itu, Rambert, seorang wartawan dari kota jiran terjebak di Oran. Sebagai pendatang tentu saja ia boleh tidak berurusan dengan wabah sampar. Karantina Kota Oran membuat dirinya tidak bisa pulang menemui kekasihnya di Paris. Karena itulah sekian usaha untuk pergi keluar kota dia lakukan, mulai dari upaya-upaya legal hingga ilegal. Namun, menjelang beberapa jam keberangkatannya keluar kota melalui agen penyelundup, ia justru memutuskan untuk tinggal, bergabung di gugus relawan demi melawan sampar.

Ada kata-kata yang menyentuh diucapkan Rambert. “... kita bisa merasa malu karena bahagia sendirian, di saat orang lain tidak turut merasakannya.” Sebenarnya Rambert bisa saja pergi untuk meraih kebahagiaannya sendiri, tetapi hati nuraninya berteriak untuk melawan keadaan.

“Semula saya berpikir, saya asing di kota ini, dan saya tidak berurusan dengan Anda semua. Tetapi sekarang setelah saya lihat apa yang saya lihat, saya tahu bahwa saya orang sini. Mau atau tidak. Epidemi ini adalah masalah kita bersama,” kata Rambert.

Rambert adalah penegasan dari semua tokoh yang terlibat, bahwa wabah sampar adalah derita kolektif penduduk Oran. Semua orang terlibat dalam kesedihan dan penderitaan yang sama. Rasa perpisahan, kehilangan, dan menunggu sesuatu yang tak pasti adalah pengalaman mereka semua. [musyafak]