Aktualisasi Nilai-nilai Ajaran Samin

Aktualisasi Nilai-nilai Ajaran Samin

Agama lokal merupakan kepercayaan tradisional yang lahir dan telah ada sejak lama, bahkan telah ada sebelum agama-agama besar masuk Nusantara, seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan keagamaan ini bersifat lokal.

Komunitas agama lokal yang masih mempercayai Tuhan yang Maha Esa, juga dikenal adanya “yang bahu reksa”, Nyai Rara Kidul, Rah leluhur, demit, peri perayangan. Kepercayaan seperti ini masih eksis hingga sekarang. Namun agama lokal ini tak pernah diakui keberadaannya, terbukti agama kepercayaan tak dicatumkan dalam KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan.

Menurut Koentjaraningrat, (1974), kepercayaan lokal bisa dikatakan religi jika mempunyai empat unsur pokok yaitu. Pertama emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan. Lalu sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, maut, dan sebagainya. Kemudian sistem upacara keagamaan yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.

Terakhir kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi serta sistem-sistem upacara keagamaannya. Namun terkadang masyarakat mengartikan religi hanya sekadar memiliki tuhan, kitab suci dan nabi. Tak ayal jika keberadaannya mereka kurang di hendaki, bahkan sering cap sebagai ajaran sesat. Padahal ajarannya mengandung nilai-nilai luhur.

Komunitas keagamaan yang mengakar pada kekuatan spiritualitas lokal atau Agama Adam yakni komunitas “Samin” atau “Sedulur Sikep”. Agama ini berkembang di daerah sekitar lereng pegunungan Kendeng, seperti, Blora, Kudus, dan Pati.

Ajaran Samin di rintis oleh Samin Surosentiko, bahkan komunitas Samin memiliki kitab Serat Jamus Kalimasada, kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Namun kitab-kitab ini di sita oleh Belanda.

Aktualisasi
Di Jawa Tengah terdapat komunitas lokal yang masih berkembang hingga sekarang yakni komunitas “Samin” atau “Sedulur Sikep” Agama ini memiliki ajaran yang amat kuat dalam memegang prinsip budaya adhiluhung dan berperilaku harmonis dengan alam (memayu hayuning bawono). Selain itu, agama ini juga memiliki sebuah ajaran yang mengedepankan nilai-nilai etika dan moral, (Rosyid, 2008).

Komunitas ini masih melestarikan tradisi bersih desa, bancakan di kalangan petani, sambatan, sumbangan, rewang, gugur gunung, dan lainnya. Hal ini yang menjadi kunci menjaga persuadaraan, kebersamaan, kedamaian dan antar komunitas.

Berdasarkan hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang mengenai “Agama dan Kearifan Lokal (Model Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Berbasis Komunitas di Jawa Tengah (2013), khususnya komunitas samin di wilayah Pati, Kudus, Blora, di temukan beberapa poin penting yakni. Pertama kerukunan beragama masyarakat di lingkungan Komunitas Samin dalam kategori  baik (rerata 151,72 dari interval nilai antara 0-216). Kedua kerukunan intern umat beragama juga dalam kategori  baik (rerata 73,92  dari interval nilai antara 0-108). Demikian pula kerukunan antarumat beragama juga dalam kategori  baik (rerata 77,80 dari interval nilai antara 0-108).

Dalam penyelesaian konflik di antara sesama agama sama-sama baik (rerata 13,78 dari interval nilai antara 0-20). Penyelesaian konflik dengan sesama warga yang beda agama (rerata 13,04 dari interval nilai antara 0-20). Komunitas ini dalam tiap penyelesaian mengunakan pendekatan musyawarah.

Namun hubungan antar umat beragama perlu disadari sejak awal akan potensi konflik yang masih laten, agar tidak mengalami akumulasi dan mendapatkan pemicu yang tidak diketahui munculnya yang bisa berakibat pada konflik yang tidak terkendali.

Kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam komunitas samin bisa dijadikan rujukan penyelesain konflik antar umat bergama di Indonesia dan nilai-nilai Ajarannya perlu diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan umat beragama